Seorang muslim wajib mengimani rukun iman yang enam, termasuk beriman kepada takdir (qodho dan qadar Allah SWT) yaitu semua keadaan dan perbuatan manusia di dunia ini pasti diketahui oleh Allah SWT yang telah dituliskan-Nya dalam kitab lauhul mahfudz. Seseorang yang mengingkari takdir berarti imannya telah cacat karena Allah SWT telah menjelaskan masalah ini melalui nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits.
Dalam QS. Al-Qamar ayat 49, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”. Imam Asy-Syuyuti ketika menafsirkan ayat ini mengatakan bahwa Allah SWT telah mengetahui ukuran, kondisi, peraturan, dan waktu, jauh sebelum kejadian itu terjadi. Tidak ada sesuatu sekecil apa pun di langit maupun di bumi ini tanpa adanya ilmu, kekuasaan, dan kehendak Allah SWT. Hadits dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiap-tiap sesuatu ada takdirnya, sampai-sampai sifat lemah dan sifat cerdas.” (HR. Muslim).
Dalam perkembangan fiqh Islam kita dapat menjumpai adanya 3 (tiga) golongan (firqah) yang berbeda pendapat dalam memahami masalah takdir ini.
Pertama, golongan qadariyah/mu’tazilah (penolak takdir). Faham ini menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan tindakan apapun tanpa terikat dengan kehendak Allah SWT (dengan kata lain mereka tidak mengakui takdir Allah SWT).
Kedua, golongan jabariyah/jahmiyah (penolak ikhtiar) yaitu mereka yang berpendapat bahwa segala perbuatan manusia adalah mutlak atas kehendak Allah SWT sehingga manusia tidak memiliki kekuasaan sedikit pun untuk berikhtiar. Golongan ini kemudian dikenal dengan faham predeterminasi.
Ketiga, golongan ahlussunnah wal jamaah yaitu kelompok yang berada di tengah-tengah, yaitu mereka yang menyatakan bahwa manusia diberi kebebasan sampai tingkat atau batasan tertentu, sedangkan selebihnya manusia tidak memiliki kekuatan apapun. Menurut golongan ini, hidup manusia berada pada 2 (dua) wilayah, yaitu : Pertama, “wilayah yang dikuasai manusia” dan kedua, “wilayah yang menguasai manusia.” Pada wilayah pertama, manusia mempunyai kebebasan memilih untuk melakukan suatu aktivitas atau tidak dalam batas kesadaran dan kontrol dirinya. Apakah kita akan bergerak atau diam, makan atau tidak, belajar atau tidak, patuh atau tidak, dan sebagainya, itu semua adalah pilihan-pilihan yang dihadapi manusia.
Contoh peristiwa yang dapat diambil dalam kasus ini adalah ketika di negeri Syam terjadi suatu wabah penyakit, Umar bin Khathab yang sudah merencanakan kunjungannya ke wilayah itu kemudian membatalkan rencananya. Seorang dari sahabatnya lalu bertanya, “Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?” Umar ra. Menjawab, “Saya lari/menghindar dari takdir Tuhan ke takdir-Nya yang lain.” Selanjutnya, pada wilayah kedua, manusia dikuasai oleh kekuatan yang berada diluar dirinya sehingga ia tidak memiliki pilihan lain kecuali tunduk di bawah kekuasaan itu.
Perbuatan dan kejadian pada wilayah ini kemudian terbagi lagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu : Pertama, kejadian yang ditentukan oleh nidzom wujud atau sunatullah yaitu hukum/peraturan alam. Kedua, kejadian yang tidak ditentukan oleh nidzom wujud namun tetap berada diluar kekuasaan manusia. Pada bagian pertama, manusia harus menerima dan tunduk pada hukum alam, misalnya ia tidak dapat terbang di udara begitu saja, atau kemampuan melihat manusia berbeda dengan kelelawar, dan sebagainya.
Sedangkan pada bagian kedua, kejadian dapat berasal dari manusia atau dari luar namun ia tidak dapat menolak akibatnya. Contoh, seorang penembak yang menembak burung namun meleset dan mengenai pohon keras lalu mengenai orang lain. Atau misalnya orang yang bepergian dengan pesawat terbang kemudian terjadi musibah yang menyebabkan kematiannya. Berasuransi Melawan Takdir (?) Dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam ini masih ditemui persepsi atau pandangan yang kurang tepat mengenai asuransi dimana sebagian kaum muslim di negeri ini menyatakan bahwa asuransi adalah “alat” untuk melawan takdir Allah SWT. Pandangan ini tentu saja perlu diluruskan : bahwa kecelakaan atau kematian seseorang memang merupakan hak prerogatif Allah SWT yang tidak bisa dicegah oleh siapa pun dan kekuatan mana pun (peristiwa ini termasuk kejadian yang tidak ditentukan oleh nidzom wujud namun berada diluar kekuasan manusia). Allah SWT berfirman “Dialah Yang menciptakan kamu dari tanah, sesudah itu ditentukannya ajal (kematianmu)” (QS. Al-An’am ayat 2). Di ayat lainnya Allah SWT menyatakan, “Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh” (QS. An-Nisaa ayat 78). Penamaan “asuransi jiwa” memang sedikit banyak telah membawa persepsi masyarakat yang kurang tepat tentang asuransi, seolah-olah yang diasuransikan adalah “jiwa” manusia sehingga takdir dapat “tertolak” atau “terhindarkan”. Istilah yang dipakai semestinya bukan “asuransi jiwa” namun “asuransi keluarga” dimana objek yang diasuransikan bukan “nyawa manusia” melainkan “kerugian atau dampak finansial” yang akan diderita oleh keluarga yang ditinggalkan misalnya anak atau istri.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, Allah SWT telah memberi pelajaran berharga kepada kita tentang bagaimana cara memproteksi dampak dari suatu musibah yang akan terjadi. Hal ini dapat kita cermati antara lain dalam Surat Yusuf ayat 43 s.d 49 yang menceritakan tentang pertanyaan raja Mesir kepada Yusuf mengenai mimpi yang dialaminya. Sang raja bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus. Selanjutnya sang raja juga melihat tujuh bulir gandum yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering. Kabar mimpi aneh ini kemudian sampai kepada Nabi Yusuf dan dia diminta untuk menafsirkan mimpi tersebut. Nabi Yusuf menyampaikan kepada raja agar kerajaan segera menanam gandum sebanyak mungkin karena selama 7 tahun, panen gandum akan sangat bagus di Mesir, setelah itu akan terjadi masa kelaparan selama 7 tahun sehingga menghabiskan apa yang disimpan. Oleh karena itu dengan menanam lebih banyak diharapkan akan ada cadangan yang baik selama masa kelaparan.
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran bahwa manusia diperintahkan untuk melindungi kelangsungan hidupnya di masa depan dengan memproteksi segala kemungkinan buruk yang terjadi. Dan tentu saja, ikhtiar seperti itu tidak berarti melawan takdir Allah SWT. Dan dalam masyarakat modern, usaha itu antara lain ditempuh dengan cara berasuransi. Sedangkan di ayatnya yang lain Allah SWT menyatakan betapa pentingnya seorang muslim memperhatikan masa depannya, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Hasyr ayat 18 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan) dan bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang engkau kerjakan”. Ayat ini menerangkan kepada kita untuk membuat perencanaan, termasuk melindungi finansial keluarga demi kehidupannya di masa depan.
Dengan demikian, seorang muslim yang mengambil proteksi asuransi pada dasarnya tidak menyalahi takdir Allah SWT, hanya saja yang perlu diperhatikan adalah : apakah keikutsertaan kita dalam berasuransi telah sesuai dengan kaidah atau batasan-batasan syar’i ?. Dalam menjawab pertanyaan ini, DSN (Dewan Syariah Nasional) melalui surat keputusannya No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah telah mengeluarkan fatwanya yang dapat dijadikan petunjuk bagi kita semua. Fatwa tersebut menyebutkan bahwa “asuransi syariah (ta’min, takaful, tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan syariah.” Ujung kalimat terakhir di atas yaitu “akad yang sesuai syariah” kemudian dijabarkan sebagai akad atau perikatan yang tidak mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), maisir (judi), riba (bunga), zulmu (penganiayaan), risywah (suap), barang haram, dan maksiat. Wallahua’lam.
0 comments:
Post a Comment